KONSEP ALKITAB TENTANG PERJANJIAN
Pst. Sahat M. Refileo Sinaga, M.Th
I
PENDAHULUAN
Apakah
tugas dari teologi Perjanjian Lama itu?
Tugas teologi Perjanjian Lama adalah mempelajari arti lampau/historis
dan arti kini dari teks Alkitab. Namun
demikian, persoalan belum selesai, karena ada pertanyaan yang lebih rumit:
apakah ada tema sentral yang menyatukan semua konsep/tema-tema yang terdapat
dalam Perjanjian Lama?
Berbicara
tentang tema sentral, para ahli berbeda pendapat. Ada
yang percaya bahwa ada tema sentral, namun
belum ada persetujuan tentang apa
tema sentral. Akan tetapi jika tidak ada
persetujuan tentang tema sentral maka harus dinyatakan, apakah ada tema yang
sentral? Di pihak lain, ada yang percaya
bahwa tidak ada tema sentral. Mereka
berpendapat bahwa ada beberapa tema sentral yang saling berhubungan, misalnya
keselamatan, kerajaan, perjanjian, dan sebagianya.
Dalam
makalah ini saya tidak akan berdebat tentang ada atau tidak ada tema
sentral. Namun saya memilih satu tema
penting yang tampak jelas dalam Perjanjian Lama yaitu Perjanjian (Covenant). Ralp L. Smith mengatakan, Perjanjian dan
Hukum (Covenant and law) adalah dua istilah yang sangat penting dalam
Perjanjian Lama. Itu menjadi pusat
jantung keyakinan Iman orang Israel. Jika ingin memahami Perjanjian Lama, maka
harus mengerti tentang konsep perjanjian (covenant).[1] Oleh karena itu, dalam makalah singkat ini,
dengan metodologi Biblical Theology[2]
yang saya uraikan adalah konsep Alkitab tentang perjanjian, perkembangannya
hingga masuk dalam Perjanjian Baru.
II
LATAR BELAKANG DAN PENGERTIAN
KONSEP COVENANT[3]
Dalam Israel kuno ada
suatu pandangan bahwa segala perjanjian yang diadakan Allah dengan umat-Nya
didasarkan kepada perjanjian kekal, dan segala sesuatu akan berlangsung dalam
perjanjian kekal tersebut.[4] Itulah sebabnya, para teolog berpandangan bahwa
hubungan Allah dengan umat-Nya disepanjang Alkitab dilukiskan dalam satu kata,
yaitu covenant. Covenant itu menjadi
dasar tindakan Allah terhadap sejarah
perjalanan umat-Nya.
Konsep
covenant menjadi sangat penting untuk dipahami karena secara fakta bahwa
Alkitab sejak akhir abad kedua Masehi oleh Gereja dibagi menjadi dua, yaitu
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Istilah ‘perjanjian’ (covenant) dalam bahasa Latin diterjemakan testamentum. Dari sana
muncul sebutan Old Testament
(Perjanjian Lama) dan New Testament
(Perjanjian baru). Maka kita dapat
menyebut Alkitab sebagai Old Covenant dan
New Covenant. Dimana covenant adalah inti dari pemahaman
orang Israel
tentang hubungan mereka dengan Allah.
Allah senantiasa membuat ikatan covenant dengan umat-Nya. Covenant itu bertumpu pada janji-janji Allah,
yang dimulai dari penciptaan sampai kepada masa nabi-nabi.[5] Bahkan menjangkau hingga Perjanjian Baru,
dimana Allah membuat covenant yang baru dengan umat-Nya seperti yang
dinubuatkan dalam Yeremia 31:31-34.
Kata
dasar untuk covenant dalam bahasa Ibrani adalah berit. Kata yang biasa
digunakan dalam Septuaginta (LXX) dan
Perjanjian Baru Yunani untuk covenant adalah sunatheke (persetujuan antara dua pihak yang sederajat) dan diatheke
(persetujuan antara dua pihak yang tidak sederajat). Diatheke
adalah macam covenant (persetujuan) yang kita miliki dengan Allah.[6] Istilah Covenant adalah kata yang sudah
sangat kuno. Kata itu berhubungan dengan
peneguhan sebuah hubungan secara formal antara dua belah pihak. Covenant
memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah Timur Dekat Kuno (history of
ancient Near East). Terdapat covenant antara individu (bdk. Kejadian 26:28;
31:41), antara bangsa (bdk. 1 Raja 5:12), dan antara Allah dengan manusia (bdk.
Kejadian 15-17).
Pakar
arkeologi telah menemukan sejumlah dokumen covenant ditulis dalam bahasa Akadia
(bahasa bangsa Asyur dan Babilon) yang sangat menolong dalam bahan perbandingan
dengan covenant-covenant dalam Alkitab.
Misalnya, dalam covenant Raja Besar (raja dari negeri yang lebih
berkuasa) mengambil inisiatif untuk mengadakan hubungan dengan seorang Raja
Kecil (raja negeri yang kurang berkuasa).
Covenant itu meneguhkan hubungan antara kedua negara, dimana hubungan
itu adalah antara dua pihak yang tidak setara.
Dalam covenant dibuat hukum-hukum yang mengatur hubungan masa depan
kedua negara. Biasanya, Raja Kecil
diminta menolong Raja Besar ketika Raja Besar diserang oleh musuh, dan Raja
Besar akan membela Raja Kecil jika diserang oleh musuhnya. Dari hukum covenant yang dibuat ada
konsekuensi, yaitu berkat dan kutuk.
Kalau satu pihak melanggar covenant maka ia akan dikutuk. Sebaliknya jika mereka menaati hukum maka
mereka akan menerima berkat.
Penyelidikan
arkeologi telah memberikan informasi bahwa covenant dalam Alkitab memiliki
kemiripan dengan covenant dalam sejarah Timur Dekat kuno. Dengan kata lain, konsep covenant dalam
Alkitab berhubungan dengan covenant dari Timur Dekat kuno. Hal ini terjadi karena Allah memakai konsep
dari dunia kuno untuk berkomunikasi dengan umat-Nya. Namun yang penting dalam Alkitab hubungan
covenant antara Allah dengan manusia jauh berbeda dengan covenant antara dua
orang. Allah adalah pencipta manusia,
maka sebenarnya Dia tidak perlu mengadakan
“persetujuan” dengan ciptaan-Nya.
Bahkan Allah yang berinisiatif, yang menenguhkan, yang menentukan
persyaratan, dan yang memelihara hubungan dengan umat-Nya. Allah berdaulat dalam hubungan covenant tersebut. Allah adalah Raja Besar (mahasuperior) yang
membuat covenant untuk membangun persekutuan dengan umat-Nya yang berdosa
(mahainferior).[7]
Covenant
yang sesungguhnya termasuk penumpahan darah dari pihak-pihak yang mengadakan
“persetujuan”. Pemakaian darah dalam
proses mengikat covenant terlihat dalam Keluaran 24:3-8. Hewan korban yang dipersembahkan kepada Tuhan
Allah, sebagian dibakar habis dan sebagain lagi dimakan sebagai simbol
persekutuan dengan Allah. Konsep
simbolis tersebut diteruskan oleh Yesus
Kristus sebagaimana ada dalam Perjamuan Tuhan (Lord’s Supper). Mengenai darah dari hewan korban, dikatakan
sebagai berikut:
Sesuadah
itu Musa mengambil sebagian dari darah itu, lalu ditaruhnya ke dalam pasu ,
sebagian lagi dari darah itu disiramkannya pada mezbah itu. Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu
dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: “Segala firman
TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan.” Kemudian Musa mengambil darah itu dan
menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang
diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini” (Keluaran 24:6-8).
Masyarakat
kuno percaya bahwa nyawa (kehidupan) ada dalam darah. Itu sebabnya makan darah dilarang karena
darah (nyawa) adalah kepunyaan Allah.
Yang pertama dan sangat penting dalam pengorbanan adalah memotong hewan
korban dan menumpahkan darah (nyawa)nya untuk Allah. Dalam prosesi Covenant Allah dengan orang
Isarel di Sinai (Sinai Covenant), Musa menyiramkan setengah darah itu ke Mezbah
sebagai repesentasi Allah, sebagai pihak yang pertama. Dan setengah lagi dari darah itu, ia siramkan
(secara simbolik) kepada umat sebagai pihak yang kedua. Maka sebagaimana Sinai Covenant dimateraikan
dengan darah, demikian juga New Covenant (Perjanjian Baru) dimateraikan oleh
darah Yesus Kristus.
Istilah
karat berit (cut a covenant) secara
faktual menunjukkan tindakan memotong hewan menjadi dua bagian dan hal itu
dilakukan untuk mensahkan covenant. Karat berit nampak dalam Kejadian 15
dimana Allah mengikat covenant dengan Abraham.
Upacara itu dilakukan dengan penuh hikmat. Namun yang sangat penting dalam covenant
adalah adanya unsur hak dan kewajiban.
Dalam Covenant Allah dengan Abraham, hanya Allah yang lewat diantara
potongan-potongan hewan korban. Ini
berarti Allah sebagai pihak pertama yang sangat berotoritas menjamin bahwa Dia
akan memenuhi covenant yang Dia buat dengan Abraham.[8]
Untuk
memperjelas pengertian kita tentang
covenant Allah dengan umat-Nya, perlu ditegaskan bahwa inti dari
covenant adalah sebuah persekutuan.
Allah membuat suatu persekutuan pribadi dengan umat-Nya ketika Ia
membuat sebuah covenant. Pernyataan yang
sangat penting untuk melukiskan covenant dalam Alkitab adalah “Aku akan menjadi
Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Kejadian 17:7; Ulangan 7:6;
29:12-13).
Menurut Robertson
sebuah covenant adalah “sebuah ikatan dalam darah yang diadakan berdasarkan
kedaulatan Tuhan Allah.”[9] Namun, orang berdosa tidak dapat bersekutu
dengan Allah. Itulah sebabnya Covenant
disertai penumpahan darah hewan korban.
Dalam kaitan dengan New Covenant, maka dapat disebutkan bahwa dalam Old
Covenant kita dapat melihat kematian Kristus dalam lambang penumpahan darah
hewan.